13.34
taufiq musa
No comments
“You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to an attorney present during questioning. If you cannot afford an attorney, one will be appointed for you.”
Bagi yang gemar
menonton film-film produksi Hollywood, terutama film-film yang
berkisah tentang kehidupan kepolisian, tentu pernah beberapa kali
mendengar kata-kata seperti ini diucapkan oleh polisi dalam adegan
film. Biasanya adegan akan didahului dengan polisi mengejar tersangka
pelaku kejahatan. Kemudian, pada saat tersangka tertangkap, saat itu
juga polisi tersebut akan mengucapkan hak-haknya seperti kata-kata di
atas. Di Amerika, pemberitahuan hak-hak tersangka ini terkenal dengan
sebutan Miranda
Warning.Berawal
Dari Kasus Miranda
Adalah seorang pemuda di Arizona, Amerika Serikat yang bernama
Ernesto Arturo Miranda. Ia ditangkap oleh polisi pada Maret 1963
karena dugaan melakukan tindak pidana perampokan. Pada saat
ditangkap, Miranda tidak pernah diberitahu hak-haknya sebagai
tersangka, termasuk hak untuk mendapat bantuan hukum dari penasehat
hukum/advokat. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, akhirnya
Miranda mengakui perbuatannya secara tertulis, bahwa ia telah
memperkosa seorang gadis berumur 18 tahun dua hari sebelumnya.
Akhirnya berkas
perkara Miranda dilimpahkan ke pengadilan. Hakim menyimpulkan Miranda
terbukti bersalah dengan hukuman 20 tahun penjara. Ia dan penasehat
hukumnya keberatan atas putusan pengadilan tingkat pertama, sehingga
mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung AS. Upaya hukum yang dilakukan
Miranda ternyata tidak sia-sia. Mahkamah Agung menangguhkan hukuman
terhadapnya dengan alasan proses hukum dan pengakuan yang dibuat
Miranda tanpa terlebih dahulu diberitahukan hak-haknya selaku
tersangka adalah tidak sah.
Sejak itu, putusan
kasus Miranda menjadi putusan yang cukup terkenal di AS, dan selalu
dipatuhi serta diikuti oleh hakim-hakim berikutnya. Kaidah hukum
dalam putusan ini kemudian terkenal dengan sebutan Miranda
Rule.
Miranda Rule
dalam KUHAP
Jika Miranda Rule
merupakan pedoman hukum bagi pengakuan hak tersangka untuk mendapat
bantuan hukum di suatu negara yang bertradisi common
law,
yaitu negara yang hukumnya berorientasi pada putusan hakim (judge
made law),
maka bagaimana kiranya hal ini diakui dan diatur dalam sistem hukum
Indonesia?
Sebagai sebuah
negara yang bertradisi civil
law,
yaitu negara yang hukumnya berorientasi pada peraturan undang-undang
yang disusun secara sistematis dan lengkap, pengaturan hak tersangka
untuk mendapat bantuan hukum di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau biasa disebut dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Selain telah diatur
dalam pasal-pasalnya, persoalan pengakuan hak tersangka untuk
mendapat bantuan hukum dalam KUHAP pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari riwayat yang melatarbelakangi lahirnya KUHAP itu
sendiri. Bahwa kelahiran KUHAP sebagai pengganti Het
Herziene Inlandsch Reglement
(HIR), antara lain adalah karena hal-hal yang diatur dalam HIR dirasa
belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
yang merupakan syarat dari suatu negara hukum. Padahal UUD 1945
secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum (rechtsstaat)
dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat).
Dengan asas kesamaan
kedudukan di hadapan hukum, berarti setiap orang harus diperlakukan
sama di hadapan hukum tanpa membedakan agama, suku, jabatan, profesi,
dan lain sebagainya. Tidak boleh ada diskriminasi dalam perlakuan dan
tindakan hukum yang dikenakan kepada seorang dengan seorang yang
lainnya. Oleh karena itu, dalam proses penegakan hukum khususnya
hukum pidana, KUHAP memandang seluruh pihak yang terlibat, baik
aparat penegak hukum maupun tersangka atau terdakwa mempunyai
kedudukan yang setara untuk menuju satu tujuan yang sama, yaitu
pencarian kebenaran dan keadilan.
Meskipun
berkedudukan sebagai tersangka/terdakwa, seseorang harus tetap diakui
dan dihormati harkat dan martabatnya serta dijamin hak asasinya. Hal
ini berhubungan dengan pemberlakuan satu asas penting lain dalam
hukum acara pidana, yaitu asas praduga tak bersalah. Setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ia
dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mendapat bantuan
hukum dari penasihat hukum/advokat dalam proses pemeriksaan perkara
merupakan hak tersangka/terdakwa (Pasal 54 KUHAP), termasuk dalam hal
ini hak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55 KUHAP).
Bahkan andaipun dalam pelaksanaannya tersangka tidak mengetahui akan
haknya tersebut, maka penyidik sebelum mulai melakukan pemeriksaan
terhadap perkara wajib memberitahu tersangka tentang haknya untuk
mendapat bantuan hukum (Pasal 114 KUHAP).
Tidak hanya itu,
dalam perkara-perkara dengan kategori tertentu, seorang tersangka
wajib didampingi oleh penasihat hukum dalam proses pemeriksaan. Hal
ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang mengatakan bahwa dalam
hal tersangka/terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun
atau lebih, atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan
pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi
mereka.
Akibat Hukum Pelanggaran Miranda Rule
Akibat Hukum Pelanggaran Miranda Rule
Ketentuan Pasal 54,
55, 56 dan 114 KUHAP adalah jaminan perlindungan hukum bagi
tersangka/terdakwa untuk mendapat bantuan hukum yang pelaksanaannya
wajib dipenuhi dalam suatu proses penyidikan. Sebagai ketentuan yang
bersifat imperatif, pengabaian atau pelanggaran terhadap hak tersebut
dapat berakibat pada tidak sahnya proses pemeriksaan yang telah
dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa. Apabila ternyata terhadap
perkara seperti ini jaksa penuntut umum (JPU) tetap mengajukan
penuntutannya ke pengadilan, maka pengadilan dalam putusannya akan
menyatakan tuntutan JPU tidak dapat diterima.
Ini dapat dilihat
dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1565 K/Pid/1991 tanggal 16
September 1993, sebagaimana yang dikutip oleh mantan Hakim Agung
Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP bagian Penyidikan dan Penuntutan (2004:97). Pengadilan Kasasi
dalam pertimbangannya atas perkara ini menyatakan apabila
syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak
menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan,
tuntutan JPU dinyatakan tidak dapat diterima
0 komentar:
Posting Komentar