18.19
taufiq musa
No comments
BAB I
PENDAHULUAN
Lahirnya
UU No. 7 Tahun 1992, UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1990
sebenarnya sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya
Perbankan Syariah di Indonesia, walaupun masih ada beberapa hal yang
masih perlu disempurnakan, diantaranya perlunya penyusunan dan
penyempurnaan ketentuan perundang-undangan mengenai operasionalisasi
bank syariah secara tersendiri agar apabila terjadi suatu persengketaan
dalam hal ini hubungannya dengan perbankan syariah dapat teratasi dengan
merujuk pada UU yang berlaku.
Pada
awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan
syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena Pengadilan
Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi
penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut UU
No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh. Sehingga kemudian untuk
mengantisipasi kondisi darurat maka didirikan Badan Arbitrase Muamalah
Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung RI
dan MUI.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Prinsip dan Tujuan Penyelesaian Sengketa
1. Pengertian
Penyelesaian
sengketa atau lebih dikenal dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus
pertengkaran atau perselihan atau dalam pengertian syariatnya adalah
suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa)
antara 2 orang yang bersengketa.
2. Prinsip
Penyelesaian
sengketa memiliki prinsip tersendiri agar masalah-masalah yang ada
dapat terselesaikan dengan benar. Diantara prinsip tersebut adalah
sebagai berikut:
· Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.
· Kekeluargaan
· Win win solution, menjamin kerahasian sengketa para pihak
· Menyelesaiakan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
3. Tujuan
Tujuan
diadakannya penyelesaian sengketa ini agar setiap
permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan dapat terselesaikan
dengan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan bersengketaan
yang berujung pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak diperbolehkan
berselisih yang berkepanjangan karena dapat menimbulkan persengketaan.
B. Landasan Hukum Penyelesaian sengketa
Ø Al-Qur’an terdapat dalam surat Al Hujurat ayat 9
Artinya:
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mumin berperang maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”
Ø Hadits
Hadits
riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibnu Hibban bahwa
Rasulullah saw bersabda, “perjanjian diantara orang-orang mislim itu
boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.” At-Tirmizi dalam hal ini menambahkan muamalah orang-orang muslim
itu berdasarkan syarat-syarat mereka.
Ø Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Pasal
1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) menyatakan, “semua
perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena
alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan
dengan baik.”
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Musyawarah Mufakat
Penyelesaian
sengketa melalui jalur musyawarah mufakat ini merupakan jalur paling
awal yang dilalui oleh pihak yang bersengketa sebelum akhirnya masuk
pada jalur hukum atau pengadilan. Dengan adanya jalur ini, diharapkan
para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalahnya dengan cara
yang baik-baik (musyawarah) sehingga sampai pada perdamaian (mufakat).
Berikut ini langkah-langkah dalam penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat, yaitu:
a) Mengembalikan pada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya
b) Para pihak yakni nasabah dan Bank kembali duduk bersama dan fokus kepada masalah yang dipersengketakan
c) Mengedepankan musyawarah dan kekeluargan, hal ini sangat dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa
d) Tercapainya perdamaian antara pihak yang bersengketa
Berdasarkan
langkah-langkah penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat
ini, maka sangat diharapkan terciptanya perdamaian karena Agama Islam
sangat mencintai perdamaian. Tetapi ketika melalui jalur ini
persengketaan tidak juga selesai, maka persengketaan ini akan dibawa ke
BASYARNAS untuk segera mendapatkan solusi yang baik. Bila jalur
BASYARNAS tidak juga mendapatkan hasil, maka jalur paling akhir yang
harus ditempuh adalah jalur Pengadilan.
D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternatif Dispute Resolution)
1. Mediasi Perbankan
Mediasi
menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 adalah proses
penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak
yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan
sukarela terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan.
Pelaksanaan
fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia ini dilakukan dengan
mempertemukan nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan
yang menjadi sengketa guna mencapai kesepakatan tanpa adanya
rekomendasi maupun keputusan dari Bank Indonesia. Dalam rangka
melaksanakan fungsi mediasi perbankan tersebut Bank Indonesia menunjuk
Mediator. Mediator yang ditunjuk harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Ø Memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan dan hukum
Ø Tidak memiliki hubungan sedarah dengan nasabah atau Perwakilan Nasabah Bank
Ø Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas penyelesaian sengketa.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melaui Jalur Mediasi Perbankan
Pengajuan
penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank
Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a) Diajukan
secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai antara
lain bukti transaksi keuangan yang dilakukan Nasabah
b) Pernah
diajukan upaya penyelesaian oleh Nasabah kepada Bank, dibuktikan dengan
bukti penerimaan pengaduan atau surat hasil penyelesaian pengaduan yang
dikeluarkan Bank
c) Sengketa
yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh
lembaga arbitrase atau peradilan atau belum terdapat kesepakatan yang
difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya.
d) Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan
e) Pengajuan
penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 hari kerja sejak tanggal surat
hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.
Setelah persyaratan tersebut diatas terpenuhi, maka mulai dilakukan proses pemecahan sengketa dengan cara sebagai berikut.
Apabila
sengketa itu tidak dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, maka
diselesaikan melalui seorang mediator dengan kesepakatan tertulis para
pihak sengketa. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14
hari dengan bantuan mediator tidak berhasil juga mempertemukan kedua
belah pihak, maka pihak dapat menghubungi lembaga alternative
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator, setelah itu
proses mediasi harus sudah dapat dimulai . dalam waktu 30 hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa adalah
final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik
serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 hari
sejak penandatanganan.
Tidak
seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan
mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk
mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win win solution . tidak ada pihak yang kalah atupun menang,
Kecenderungan memilih alternatif penyelesaian sengketa (Alternatif Dispute Resolution) oleh masyarakat didasarkan oleh:
a) Kurang percayanya pada sistem pengadilan
b) Kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun dikarenakan banyak
ketentuan arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti
dengan ketentuan kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika
putusan arbitrasenya tidak berhasil di selesaikan.
2. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Arbitrase
atau Arbitrage (Belanda), Arbitrase (latin), Tahkim (Islam). Menurut R.
Subekti, mengartikan Arbitrase adalah suatu penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh seorang atau beberapa arbiter berdasarkan persetujuan
para pihak yang akan mentaati keputusan yang diberikan oleh arbiter yang
mereka pilih.
Berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan alternative penyelesaian sengketa bahwasanya arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa.
Lembaga
arbitrase (hakam) telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu,
meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada
perselisihan mengenai hak waris, hak milik seringkali diselesaikan
melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang
berselisih.
Gagasan
berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan
bertemunya para pakar cendikiawan muslim, praktisi hukum, para ulama
untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di
Indonesia. Pertemuan ini dimotori oleh Dewan Pimpinan MUI pada tanggal
22 April 1992. setelah mengadakan rapat beberapa kali penyempurnaan
terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya
pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS).
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur BASYARNAS
BASYARNAS
sebagai lembaga permanent yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia
berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang
timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan , jasa. Pendirian
lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia
dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Lembaga arbitrase Syariah merupakan
penyelesaian sengketa secara syariah antara kedua pihak di jalur
pengadilan untuk mencapai kesepakatan maslahah ketika upaya mufakat
tidak tercapai.
Disamping
itu badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum,
yaitu pendapat yang mengikat adanya suatu persoalan tertentu yang
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian atas permintaan para pihak yang
mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.
Apabila
jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga
peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim
harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya
telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk
menghindari lamanya proses penyelesaian
Kewenangan BASYARNAS
a) Menyelesaikan
secara adil dan cepat sengketa muamalah yang timbul dalam bidang
perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hokum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan
penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai dengan peraturan prosedur yang
berlaku.
b) Memberikan
pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu
sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
Putusan BASYARNAS
a) Dalam waktu selambat-lambatnya 180 hari sejak ditunjuk sebagai Arbiter, seluruh pemeriksaan hingga putusan harus selesai
b) Salinan resmi putusan arbitrase didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat
Keunggulan dan kekurangan BASYARNAS
BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya:
a) Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya sevara terhormat dan bertanggung jawab
b) Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya
c) Proses pengambilan keputusan cepat
d) Para pihak menyerahkan persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya
e) Didalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah
f) BASYARNAS akan memberikan peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara.
BASYARNAS memiliki kekurangan-kekurangan, diantaranya:
a) Kurangnya
manajemen SDM yang ada sehingga masih harus berbenah diri agar dapat
mengimbangi pesetnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia
b) Belum sepenuhnya menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat
c) Keterbatasan jaringan kantor BASYARNAS di daerah
d) Kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka penyebarluasan informasi dan
meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah.
E. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan Agama Pasca Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Dengan
lahirnya perubahan UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006
tentang peradilan Agama, maka kewenangan absolut sengketa ekonomi Islam
beralih ke Pengadilan Agama.
Kekuatan Peradilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah dikarenakan adanya faktor sebagai berikut:
a)Adanya SDM yang sudah memahami permasalahan syariah
b) Adanya kewenangan absolut
c)Mayoritas masyarakat Indonesia kesadaran hukum Islam
Kelemahan dalam menggunakan jalur ini disebabkan oleh:
a)Pelaksanaan
dalam penyelesaian sengketa dalam beracara masih menggunakan sistem
dualisme hukum karena pada satu sisi hukum acara yang dipakai adalah
hukum acara perdata barat
b) Masih barunya lembaga BASYARNAS yang mengakibatkan kurang pengalaman dalam proses penyelesaian sengketa yang ada.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dilihat
dari penjelasan diatas bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah,
khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya berdasarkan
syariah Islam, maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga
tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah
juga berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional.
Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan
kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
Namun
demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar pengadilan
tetap dan masih dibutuhkan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini
melalui lembaga arbitrase syariah, Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah
Nasional).
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah dari Teori kePraktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001
Effendi, Satria, Arbitrase Islam di Indonesia, Panembrana Batanghari, Jakarta, 1994
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002
www.google.com (penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah)
0 komentar:
Posting Komentar