PENDAHULUAN
Dewasa ini keberadaan hukum sangat dirasakan urgennya di
dalam masyarakat, sebab hukum tidak hanya berperan untuk keadilan, keteraturan, ketenteraman dan ketertiban; juga untuk
menjamin adanya kepastian hukum. Bahkan hukum lebih diarahkan sebagai sarana
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat "tool of social engineering".
Oleh sebab itu diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran
tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar tujuan hukum dapat
terwujud sebagaimana dicita-citakan. Yakni: hukum menghendaki kerukunan dan
perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.
Adapun psikologi hukum adalah cabang ilmu yang mempelajari
hokum dari segi ekspresi dan perkembangan jiwa manusia. Menurut Soedjono D.,
akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu
kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum
modern, adalah penggunaan secara sadar sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dikehendaki. Adapun yang meninjau ilmu politik secara
mendalam dalam kaitannya dengan hukum adalah ilmu pengetahuan politik hukum.
Bab
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Psikologi
Psikologi
apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho, dan logos. Psycho sering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu (ilmu
pengetahuan). Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu
pengetahuan tentang jiwa (ilmu jiwa).
Hukum
dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan
merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi merupakan
karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Dalam
hal ini Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto memberikan definisi psikologi
hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai
perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)
Psikologi
hukum merupakan cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena
kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama
sekali kebutuhan bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan
pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Psikologi hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang
mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour)
maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah
satu dari pencerminan perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang
menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah penggunaannya secara
sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan
demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama
psikologi sosial (Soeroso, 2002 : 317). Sebagai contoh hukum pidana misalnya
merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seperti tentang
paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain
sebagainya yang menunjukkan hubungan antara hukum dengan psikologi.
Leon Petraryki (1867 - 1931), seorang ahli filsafat hukum,
menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur yang
utama. Sarjana tersebut berpendapat, bahwa fenomen-fenomen hukum itu terdiri
dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan mcngggunakan
metoda introspeksi (Satjipto , 2006: 360). Apabila kita mempersoalkan tentang
hak-hak kita scrta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan
itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam
peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa
kita harus berbuat seperti itu, demikian Petraricky. Ia memandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai
“phantasmata”, yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti
sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributit”
yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya (Sutjipto,
2006 : 360).
Penulis berikutnya yang akan dibicarakan adalah Jerome
Frank. Melalui bukunya “Law and the Modern Mind” (1930), Frank kemudian menjadi terkenal, bahwa
ada yang menamakannya suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
Frank, biasanya digolongkan ke dalam Aliran Realismv di
Amerika Serikat. Sesuai dcngan pola pemikiran aliran tersebut, hal yang menjadi
sasaran adalah hukum scbagaimana diproses dalam pengadilan. Tetapi penggarapan
Frank tcrnyata tidak hanya terbatas pada proses-proses dalam pengadilan,
melainkan ia mengangkatnya sampai ke peringkat yang lebih tinggi lagi, sehingga
sudah bergerak dalam teori hukum yang umum.
Frank menyerang angrapan dan pandangan kebanyakan orang
tentang hukum dan dalam bukunya yang disebut di muka> ia mulai dengan
mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam hukum (Sutjipto,
2006 : 361). Frank yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat, bahwa hukum
itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian.
Sejak dulu, sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang, bagian terbesar dan
hukum bersifat samar-samar dan bervariasi. Menurut dia, keadaan yang demikian
itu tidak bisa lain, oleh karena hukum itu berurusan dcngan hubungan-hubung an
antara manusia dalam segi-seginya yang sangat kompleks. Olch karena itu
mengharapkan, bahwa hukum akan bisa memberikan kepastian yang berlebihan,
adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak perlu.
Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan,
mengapa orang sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang
berlebihan itu. Menurut Frank, hal itu tentunya tidak berakar pada sesuatu yang
nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal) (Soetjipto, 2006 : 361).
Dalam usahanya untuk menjawab dan menjelaskan apa yang
menjadi sebab-sebab keinginan sebagaimana disebut di atas, Frank mulai memasuki
bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang
psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal
ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan
yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kegandrungann
(hanker) kepada pengganti sang ayah (Soetjipto, 2006: 361). Penjelasannya secara terperinci
adalah sebagai berikut (Soetjipto, 2006: 361) :
1.
Dorongan
keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum
dilahirkan. Sebaliknya adalah, ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui,
kepada kesenipatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam
kehidupan seorang anak.
2.
Faktor-faktor
ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita rasa kekanak-kanakan yang
mendambakan kedamaian sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya
yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang
teguh dan penuh kepastian dan bisa dikontrol.
3.
Si anak
mendapatkan kepuasan akan kerinduannya ilu, pada umumnya, melalui
kepercayaannya dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada
bandingannya, yang serba bisa dan yang selalu berhasil.
4.
Sekalipun orang
menjadi semakin dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi
korban dari keinginan-kcinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam
situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang
ingin melarikan diri kepada ayahnya. “Kebergantungan kepada ayah” yang semula
merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan
sendiri.
5.
Hukum bisa
dengan mudah dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam usaha
untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab, secara fungsional, tampaknya hukum
mirip dengan sang ayah sebagai Hakim.
6.
Ayah sebagai
Hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya
dianggap menciptakan ketertiban .dari keadaan yang kacau serta
konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak
sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat
mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa
menyadari sepenuhnya akan motivasi di belakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness),
kapasilas dan prediktabilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya,
bahwa sang ayah telah meletakkan itu semga di dalam hukum.
7.
Dari sinilah
munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah, atau bisa-dibuat tidak bergetar,
pasti dan mapan.
B. Ruang lingkup psikologi hukum
Adapun
ruang lingkup psikologi hukum menurut Soedjono D. yaitu sebagai berikut.
1. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaedah hukum.
2. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3. Perilaku menyimpang.
4. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
Ruang
lingkup psikologi hukum sebagaimana tertera di atas, merupakan tanda dari suatu
perkembangan di dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan hukum sekaligus juga
menunjukkan perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan
perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus,
yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari
aktivitas psikis manusia.
C. Perkembangan
kejiwaan
Perkembangan
kejiwaan dalam kehidupan manusia menurut Saut P. Panjaitan paling sedikit dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut.
1.
Proses pematangan, yang meliputi penyempurnaan fungsi tubuh.
2.
Proses belajar, yang berhubungan dengan proses memperbaiki sikap-tindak/
perikelakuan, baik melalui imitasi maupun edukasi.
3.
Proses pengalaman, yang berkaitan dengan interaksi terhadap lingkungan
kemasyarakatan di manapun seseorang berada.
Ketiga
faktor di atas dapatlah dipahami sementara bahwa setiap manusia akan mempunyai
kepribadian (perkembangan kejiwaan) yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, psikologi penting bagi ilmu hukum untuk mengetahui latar
belakang kejiwaan dari suatu sikap tindak/perikelakuan hukum tertentu. Jiwa
merupakan suatu organ yang membentuk gagasan dan pelaksanaannya mempengaruhi
nalar, maka hukum seharusnya menarik bagi jiwa manusia yang dipengaruhi oleh
hukum.
Berdasarkan
hal tersebut, dalam psikologi hukum akan dipelajari sikaptindak/perikelakuan
hukum dari seseorang yang terdiri atas: (1) sikap tindak/ perikelakuan hukum
yang normal, yang menyebabkan seseorang akan mematuhi hukum, (2) sikap
tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seseorang melanggar hukum,
meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Sikap
tindak/perikelakuan seseorang yang mematuhi hukum dilandasi oleh adanya
keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup. Keyakinan atau
kesadaran hukum ini menjadi landasan keajegan (regelmatigheden) maupun
keputusan-keputusan (beslissingen), merupakan wadah dari jalinan nilai hukum yang mengendap dalam sanubari manusia.
Inilah kesadaran hukum (rechtsbewustzijn) atau perasaan hukum.
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan
nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau
yang diharapkan akan ada. Jalinan nilai-nilai dalam diri manusia tersebut
merupakan abstraksi sosial yang kontinu, dan bersifat dinamis, dalam rangka
memilih tujuan dalam kehidupan sosial, yang menjadi penggerak manusia ke arah
pemenuhan hasrat hidupnya.
Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal menyebabkan
seseorang melanggar norma/kaedah hukum. Ada beberapa gejala psikologis yang
berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum, antara lain
sebagai berikut.
1. Neurosis, yaitu suatu gangguan
jasmaniah yang disebabkan oleh faktor kejiwaan atau gangguan pada fungsi
jaringan saraf. Contoh: phobia, rasa takut terhadap hal-hal yang
dianggap mengancam, misalnya rasa takut pada tempat yang tinggi. Depresi,
adanya rasa negatif terhadap diri sendiri (putus asa).
2. Psikhosis, merupakan suatu gejala seperti reaksi
schizophrenic, yang menyangkut proses emosional dan intelektual.
Gejalanya adalah seseorang sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di
sekitarnya. Reaksi paranoid, di mana seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal
yang (seolah-olah) mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang”
terlebih dahulu. Reaksi efektif dan involutional, di mana seseorang merasakan
adanya depresi yang sangat kuat.
3.
Gejala sosiopatik, yang mencakup:
a. reaksi antisosial (psikhopat), yang
ciri utamanya adalah orang tersebut hampir-hampir tidak mempunyai etika/moral.
Misalnya tidak pernah merasa bersalah, tidak pernah bertanggung jawab, tidak
mempunyai tujuan hidup dan sebagainya.
b. reaksi dissosial, yakni orang
selalu berurusan dengan.hukum, karena ada kekurangan dalam latar
belakang kehidupannya.
c. deviasi seksual, yaitu perikelakuan
seksual yang menyimpang dilakukan oleh orang-orang yang menikmati perbuatan
tersebut, yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Seperti homoseksualitas,
pelacuran, perkosaan, dan sebagainya.
d. addiction (ketergantungan),
misalnya ketergantungan pada “naza” (narkotika, alkohol, dan zat adiktif
lainnya).(Ishaq,2009,241)
D. Proses
perubahan dalam hukum
Setiap proses perubahan, selalu menyangkut bermacam-macam
aspek, seperti misalnya, aspek politis, ekonomis, sosial, dan lain sebagainya.
Yang mungkin agak kurang diperhatikan, adalah masalah psikologis yang dihadapi
di dalam pembangunan, walaupun tidak jarang orang menyinggung soal mentalitas
di dalam pembangunan. Masalah psikologis tersebut menyangkut soal bagaimana
manusia mengubah dirinya di dalam proses pembangunan tersebut. Hal itu mungkin
menyangkut orang-orang macam apa yang mempelopori perubahan, manusia
bagaimanakah yang mudah berubah dan pihak manakah yang sulit untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan yang terjadi. Di dalam proses pembangunan hukum, hal-hal
itu juga perlu dipertimbangkan, oleh karena hukum adat secara tradisional telah
menjiwai bagian terbesar dari warga-warga masyarakat Indonesia.
Salah seorang pelopor yang mempelajari aspek psikologis di
dalam proses perubahan, adalah L.W. Doob, seorang guru besar dari Yale University,
Amerika Serikat. Menurut Doob, maka masalah utamanya menyangkut dua hal,
yakni:
1.
Mengapa warga
masyarakat yang mengalami perubahan dalam hal-hal tertentu bertambah modern
(dalam pengertiannya, tambah beradab)
2.
Apakah yang
terjadi dengan mereka yang tambah modern; artinya apakah yang berubah dalam
cara berpikir, kepercayaan, kepribadian, dan selanjutnya?
Di dalam studinya, juga dipergunakan
dikotomi tradisional dan modern, dan ada suatu usaha untuk mengadakan
klasifikasi ciri-ciri masyarakat yang lebih sederhana. Ciri-ciri tersebut
adalah, antara lain, sempitnya ruang lingkup hubungan-hubungan sosial, adanya
pelbagai pembatasan-pembatasan, kepercayaan dan kemutlakan, keseragaman
perilaku, dan kesederhanaan. Penelitian Doob terutama dilakukan di Luo, Ganda,
Zulu dan Jamaica, dengan jalan memperbandingkan kecenderungan-kecenderungan
yang ada pada generasi tua dan muda, serta antara mereka yang berpendidikan
dengan yang taraf pendidikannya kurang tinggi. Kemudian dia juga membandingkan
pola-pola kehidupan orang-orang Indian dan kulit putih di Amerika Serikat,
serta mempergunakan konsep-konsep yang pernah dikembangkan oleh Daniel Lerner
mengenai tahap tradisional, transisi, dan modern. Dari hasil-hasil
penelitiannya, antara lain, dapat diambil kesimpulan, bahwa perubahan lebih
banyak dialami oleh orang-orang yang mempunyai orientasi jauh kemuka. Kecuali
itu, maka ada suatu kecenderungan, bahwa perubahan sangat sukar terjadi pada
pola kehidupan keluarga.
Kemudian Doob pernah mengemukakan suatu
teori, yang dinamakannya the piecemealness of change. Intinya adalah
bahwa apabila suatu pola perilaku yang tertanam dengan kuatnya dan sangat
memuaskan ingin diubah, maka perubahan tersebut baru akan terjadi apabila
beberapa unsur tertentu diganti. Oleh karena itu, teorinya disebut piecemeal.
Halnya adalah sama, apabila suatu perilaku baru harus dipelajari, maka hal
itu akan berlangsung bagian demi bagian, atau unsur demi unsur. Untuk kemudian
dipelajari secara menyeluruh.
Teori maupun hasil-hasil penelitian Doob
yang kemudian diberi komentar oleh Godthorpe, dapat dijadikan bahan
pertimbangan di dalam pembangunan hukum, terutama di dalam hubungannya dengan
hukum adat. Ada aspek-aspek tertentu, di mana pembangunan hukum mau tidak mau
harus dilakukan melalui hukum adat; aspek-aspek manakah itu, perlu diteliti
secara seksama. Memang, suatu pembangunan hukum memakan waktu yang relatif
lama, oleh karena sekaligus juga memerlukan pelembagaan dan pembudayaan secara
sistematis. (Soerjono, 2007: 366)
BAB III
KESIMPULAN
Psikologi Hukum
ialah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hokum sebagai suatu perwujudan
dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang
perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hukum,
ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu
kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum
modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk rnencapai
tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah
memasuki bidang yang menggarap tingkah-laku manusia. Bukankah proses demikian
ini menunjukkan bahwa hukum telah mernasuki bidang psikologi. Terutama
psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum
yang berkait rapat dengan psikologi, seper-ti tentang paksaan
psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain sebagainya
yang menunjukkan hubungan antara hukum dan psikologi. Contoh studi yang jelas
misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazic (1867 -1931), ahli
filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan
menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki beranggapan bahwa fenomen-fenomen
hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat
dengan menggunakan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang
hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan
itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam
peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus
berbuat seperti itu. Petrazicky memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal
yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial. Oleh
karena ia menciptakan "pengalaman imperatifatributif' yang mempengaruhi
tingkah-laku mereka yang merasa terikat olehnya. Beberapa sarjana hukurn
secara khusus dan mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga mengembangkan
ilmu ini.
Daftar Pustaka
Sudarsono,
1995, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka cipta
Soekanto
Soerjono, 2007, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada
Ishaq,
2009, Dasar_Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika
Rahardjo
Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti
Soeroso,
2002, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika