• About

      Sabtu, 04 Februari 2012

      Hukum Psikologi


      PENDAHULUAN

      Dewasa ini keberadaan hukum sangat dirasakan urgennya di dalam masyarakat, sebab hukum tidak hanya berperan untuk keadilan, keteraturan, ketenteraman dan ketertiban; juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Bahkan hukum lebih diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat "tool of social engineering". Oleh sebab itu diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar tujuan hukum dapat terwujud sebagaimana dicita-citakan. Yakni: hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.
      Adapun psikologi hukum adalah cabang ilmu yang mempelajari hokum dari segi ekspresi dan perkembangan jiwa manusia. Menurut Soedjono D., akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menon­jol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaan secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dike­hendaki. Adapun yang meninjau ilmu politik secara mendalam dalam kaitannya dengan hukum adalah ilmu pengetahuan politik hukum.

      Bab II
      PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Psikologi
      Psikologi apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho, dan logos. Psycho sering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu (ilmu pengetahuan). Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa (ilmu jiwa).
      Hukum dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi merupakan karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Dalam hal ini Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto memberikan definisi psikologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)
      Psikologi hukum merupakan cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali kebutuhan bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
      Psikologi hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour) maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencermin­an perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-­tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial (Soeroso, 2002 : 317). Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seperti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain sebagainya yang menunjukkan hubung­an antara hukum dengan psikologi.
      Leon Petraryki (1867 - 1931), seorang ahli filsafat hukum, menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur yang utama. Sarjana tersebut berpendapat, bahwa fenomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan mcngggunakan metoda introspeksi (Satjipto , 2006: 360). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita scrta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa kita harus berbuat seperti itu, demikian Petraricky. Ia memandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai “phantasmata”, yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributit” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya (Sutjipto, 2006 : 360).
      Penulis berikutnya yang akan dibicarakan adalah Jerome Frank. Melalui bukunya “Law and the Modern Mind” (1930), Frank kemudian menjadi terkenal, bahwa ada yang menamakannya suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
      Frank, biasanya digolongkan ke dalam Aliran Realismv di Amerika Serikat. Sesuai dcngan pola pemikiran aliran tersebut, hal yang menjadi sasaran adalah hukum scbagaimana diproses dalam pengadilan. Tetapi penggarapan Frank tcrnyata tidak hanya terbatas pada proses-proses dalam pengadilan, melainkan ia mengangkatnya sampai ke peringkat yang lebih tinggi lagi, sehingga sudah bergerak dalam teori hukum yang umum.
      Frank menyerang angrapan dan pandangan kebanyakan orang tentang hukum dan dalam bukunya yang disebut di muka> ia mulai dengan mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam hukum (Sutjipto, 2006 : 361). Frank yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat, bahwa hukum itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Sejak dulu, sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang, bagian terbesar dan hukum bersifat samar-samar dan bervariasi. Menurut dia, keadaan yang demikian itu tidak bisa lain, oleh karena hukum itu berurusan dcngan hubungan-hubung an antara manusia dalam segi-seginya yang sangat kompleks. Olch karena itu mengharapkan, bahwa hukum akan bisa memberikan kepastian yang berlebihan, adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak perlu.
      Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan, mengapa orang sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang berlebihan itu. Menurut Frank, hal itu tentunya tidak berakar pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal) (Soetjipto, 2006 : 361).
      Dalam usahanya untuk menjawab dan menjelaskan apa yang menjadi sebab-sebab keinginan sebagaimana disebut di atas, Frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kegandrungann (hanker) kepada pengganti sang ayah (Soetjipto, 2006: 361). Penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut (Soetjipto, 2006: 361) :
      1.      Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah, ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesenipatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak.
      2.      Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita rasa kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh dan penuh kepastian dan bisa dikontrol.
      3.      Si anak mendapatkan kepuasan akan kerinduannya ilu, pada umumnya, melalui kepercayaannya dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan yang selalu berhasil.
      4.      Sekalipun orang menjadi semakin dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan-kcinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “Kebergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri.
      5.      Hukum bisa dengan mudah dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab, secara fungsional, tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai Hakim.
      6.      Ayah sebagai Hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban .dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi di belakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness), kapasilas dan prediktabilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya, bahwa sang ayah telah meletakkan itu semga di dalam hukum.
      7.      Dari sinilah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah, atau bisa-dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan. ­

      B.     Ruang lingkup psikologi hukum
      Adapun ruang lingkup psikologi hukum menurut Soedjono D. yaitu sebagai berikut.
      1.      Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaedah hukum.
      2.      Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
      3.      Perilaku menyimpang.
      4.      Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
      Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana tertera di atas, merupakan tanda dari suatu perkembangan di dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan hukum sekaligus juga menunjukkan perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktivitas psikis manusia.

      C.    Perkembangan kejiwaan
      Perkembangan kejiwaan dalam kehidupan manusia menurut Saut P. Panjaitan paling sedikit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut.
      1.    Proses pematangan, yang meliputi penyempurnaan fungsi tubuh.
      2.   Proses belajar, yang berhubungan dengan proses memperbaiki sikap-tindak/ perikelakuan, baik melalui imitasi maupun edukasi.
      3.    Proses pengalaman, yang berkaitan dengan interaksi terhadap lingkungan kemasyarakatan di manapun seseorang berada.
      Ketiga faktor di atas dapatlah dipahami sementara bahwa setiap manusia akan mempunyai kepribadian (perkembangan kejiwaan) yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, psikologi penting bagi ilmu hukum untuk mengetahui latar belakang kejiwaan dari suatu sikap tindak/perikelakuan hukum tertentu. Jiwa merupakan suatu organ yang membentuk gagasan dan pelaksanaannya mempengaruhi nalar, maka hukum seharusnya menarik bagi jiwa manusia yang dipengaruhi oleh hukum.
      Berdasarkan hal tersebut, dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap­tindak/perikelakuan hukum dari seseorang yang terdiri atas: (1) sikap tindak/ perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seseorang akan mematuhi hukum, (2) sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seseorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
      Sikap tindak/perikelakuan seseorang yang mematuhi hukum dilandasi oleh adanya keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup. Keyakinan atau kesadaran hukum ini menjadi landasan keajegan (regelmatigheden) maupun keputusan-keputusan (beslissingen), merupakan wadah dari jalinan nilai hukum yang mengendap dalam sanubari manusia. Inilah kesadaran hukum (rechtsbewustzijn) atau perasaan hukum.
      Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau yang diharapkan akan ada. Jalinan nilai-nilai dalam diri manusia tersebut merupakan abstraksi sosial yang kontinu, dan bersifat dinamis, dalam rangka memilih tujuan dalam kehidupan sosial, yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya.
      Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal menyebabkan seseorang melanggar norma/kaedah hukum. Ada beberapa gejala psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum, antara lain sebagai berikut.
      1.    Neurosis, yaitu suatu gangguan jasmaniah yang disebabkan oleh faktor kejiwaan atau gangguan pada fungsi jaringan saraf. Contoh: phobia, rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap mengancam, misalnya rasa takut pada tempat yang tinggi. Depresi, adanya rasa negatif terhadap diri sendiri (putus asa).
      2. Psikhosis, merupakan suatu gejala seperti reaksi schizophrenic, yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya adalah seseorang sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Reaksi paranoid, di mana seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal yang (seolah-olah) mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu. Reaksi efektif dan involutional, di mana seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat.
      3.   Gejala sosiopatik, yang mencakup:
      a.    reaksi antisosial (psikhopat), yang ciri utamanya adalah orang tersebut hampir-hampir tidak mempunyai etika/moral. Misalnya tidak pernah merasa bersalah, tidak pernah bertanggung jawab, tidak mempunyai tujuan hidup dan sebagainya.
      b.    reaksi dissosial, yakni orang selalu berurusan dengan.hukum, karena ada kekurangan dalam latar belakang kehidupannya.
      c.    deviasi seksual, yaitu perikelakuan seksual yang menyimpang dilakukan oleh orang-orang yang menikmati perbuatan tersebut, yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Seperti homosek­sualitas, pelacuran, perkosaan, dan sebagainya.
      d.    addiction (ketergantungan), misalnya ketergantungan pada “naza” (narkotika, alkohol, dan zat adiktif lainnya).(Ishaq,2009,241)

      D.    Proses perubahan dalam hukum
      Setiap proses perubahan, selalu menyangkut bermacam-macam aspek, seperti misalnya, aspek politis, ekonomis, sosial, dan lain sebagainya. Yang mungkin agak kurang diperhatikan, adalah masalah psikologis yang dihadapi di dalam pem­bangunan, walaupun tidak jarang orang menyinggung soal mentalitas di dalam pembangunan. Masalah psikologis tersebut menyangkut soal bagaimana manusia mengubah dirinya di dalam proses pembangunan tersebut. Hal itu mungkin menyangkut orang-orang macam apa yang mempelopori perubahan, manusia bagaimanakah yang mudah berubah dan pihak manakah yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubah­an yang terjadi. Di dalam proses pembangunan hukum, hal-hal itu juga perlu dipertimbangkan, oleh karena hukum adat secara tradisional telah menjiwai bagian terbesar dari warga-warga masyarakat Indonesia.
      Salah seorang pelopor yang mempelajari aspek psikologis di dalam proses perubahan, adalah L.W. Doob, seorang guru besar dari Yale Univer­sity, Amerika Serikat. Menurut Doob, maka masalah utamanya menyang­kut dua hal, yakni:
      1.      Mengapa warga masyarakat yang mengalami perubahan dalam hal-­hal tertentu bertambah modern (dalam pengertiannya, tambah ber­adab)
      2.      Apakah yang terjadi dengan mereka yang tambah modern; artinya apakah yang berubah dalam cara berpikir, kepercayaan, kepribadian, dan selanjutnya?
      Di dalam studinya, juga dipergunakan dikotomi tradisional dan modern, dan ada suatu usaha untuk mengadakan klasifikasi ciri-ciri masyarakat yang lebih sederhana. Ciri-ciri tersebut adalah, antara lain, sempitnya ruang lingkup hubungan-hubungan sosial, adanya pelbagai pembatasan-pembatasan, kepercayaan dan kemutlakan, keseragaman perilaku, dan kesederhanaan. Penelitian Doob terutama dilakukan di Luo, Ganda, Zulu dan Jamaica, dengan jalan memperbandingkan kecende­rungan-kecenderungan yang ada pada generasi tua dan muda, serta antara mereka yang berpendidikan dengan yang taraf pendidikannya kurang tinggi. Kemudian dia juga membandingkan pola-pola kehidupan orang-orang Indian dan kulit putih di Amerika Serikat, serta mem­pergunakan konsep-konsep yang pernah dikembangkan oleh Daniel Lerner mengenai tahap tradisional, transisi, dan modern. Dari hasil-hasil penelitiannya, antara lain, dapat diambil kesimpulan, bahwa perubahan lebih banyak dialami oleh orang-orang yang mempunyai orientasi jauh kemuka. Kecuali itu, maka ada suatu kecenderungan, bahwa perubahan sangat sukar terjadi pada pola kehidupan keluarga.
      Kemudian Doob pernah mengemukakan suatu teori, yang dinama­kannya the piecemealness of change. Intinya adalah bahwa apabila suatu pola perilaku yang tertanam dengan kuatnya dan sangat memuaskan ingin diubah, maka perubahan tersebut baru akan terjadi apabila beberapa unsur tertentu diganti. Oleh karena itu, teorinya disebut piece­meal. Halnya adalah sama, apabila suatu perilaku baru harus dipelajari, maka hal itu akan berlangsung bagian demi bagian, atau unsur demi unsur. Untuk kemudian dipelajari secara menyeluruh.
      Teori maupun hasil-hasil penelitian Doob yang kemudian diberi komentar oleh Godthorpe, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam pembangunan hukum, terutama di dalam hubungannya dengan hukum adat. Ada aspek-aspek tertentu, di mana pembangunan hukum mau tidak mau harus dilakukan melalui hukum adat; aspek-aspek manakah itu, perlu diteliti secara seksama. Memang, suatu pembangunan hukum memakan waktu yang relatif lama, oleh karena sekaligus juga memerlukan pelembagaan dan pembudayaan secara sistematis. (Soerjono, 2007: 366)

      BAB III
      KESIMPULAN

      Psikologi Hukum ialah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hokum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hu­kum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pen­cerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk rnen­capai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang yang meng­garap tingkah-laku manusia. Bukankah proses demikian ini menunjukkan bahwa hukum telah mernasuki bidang psiko­logi. Terutama psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seper-ti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain sebagainya yang me­nunjukkan hubungan antara hukum dan psikologi. Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazic (1867 -1931), ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki beranggapan bahwa fe­nomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dican­tumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat seperti itu. Petrazicky memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial. Oleh karena ia menciptakan "pengalaman imperatif­atributif' yang mempengaruhi tingkah-laku mereka yang me­rasa terikat olehnya. Beberapa sarjana hukurn secara khusus dan mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga me­ngembangkan ilmu ini.

      Daftar Pustaka
      Sudarsono, 1995, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka cipta
      Soekanto Soerjono, 2007, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada
      Ishaq, 2009, Dasar_Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika
      Rahardjo Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti
      Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

      0 komentar:

      Posting Komentar

      Total Pageviews

      Blogger news

      Diberdayakan oleh Blogger.

      Popular Posts

      Followers

      Followers

      Featured Posts

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news