• About

      Sabtu, 04 Februari 2012

      Hukum Psikologi


      PENDAHULUAN

      Dewasa ini keberadaan hukum sangat dirasakan urgennya di dalam masyarakat, sebab hukum tidak hanya berperan untuk keadilan, keteraturan, ketenteraman dan ketertiban; juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Bahkan hukum lebih diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat "tool of social engineering". Oleh sebab itu diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar tujuan hukum dapat terwujud sebagaimana dicita-citakan. Yakni: hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.
      Adapun psikologi hukum adalah cabang ilmu yang mempelajari hokum dari segi ekspresi dan perkembangan jiwa manusia. Menurut Soedjono D., akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menon­jol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaan secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dike­hendaki. Adapun yang meninjau ilmu politik secara mendalam dalam kaitannya dengan hukum adalah ilmu pengetahuan politik hukum.

      Bab II
      PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Psikologi
      Psikologi apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho, dan logos. Psycho sering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu (ilmu pengetahuan). Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa (ilmu jiwa).
      Hukum dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi merupakan karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Dalam hal ini Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto memberikan definisi psikologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)
      Psikologi hukum merupakan cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali kebutuhan bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
      Psikologi hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour) maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencermin­an perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-­tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial (Soeroso, 2002 : 317). Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seperti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain sebagainya yang menunjukkan hubung­an antara hukum dengan psikologi.
      Leon Petraryki (1867 - 1931), seorang ahli filsafat hukum, menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur yang utama. Sarjana tersebut berpendapat, bahwa fenomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan mcngggunakan metoda introspeksi (Satjipto , 2006: 360). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita scrta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa kita harus berbuat seperti itu, demikian Petraricky. Ia memandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai “phantasmata”, yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributit” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya (Sutjipto, 2006 : 360).
      Penulis berikutnya yang akan dibicarakan adalah Jerome Frank. Melalui bukunya “Law and the Modern Mind” (1930), Frank kemudian menjadi terkenal, bahwa ada yang menamakannya suatu karya klasik dalam ilmu hukum umum.
      Frank, biasanya digolongkan ke dalam Aliran Realismv di Amerika Serikat. Sesuai dcngan pola pemikiran aliran tersebut, hal yang menjadi sasaran adalah hukum scbagaimana diproses dalam pengadilan. Tetapi penggarapan Frank tcrnyata tidak hanya terbatas pada proses-proses dalam pengadilan, melainkan ia mengangkatnya sampai ke peringkat yang lebih tinggi lagi, sehingga sudah bergerak dalam teori hukum yang umum.
      Frank menyerang angrapan dan pandangan kebanyakan orang tentang hukum dan dalam bukunya yang disebut di muka> ia mulai dengan mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu “mitos dasar” dalam hukum (Sutjipto, 2006 : 361). Frank yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat, bahwa hukum itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Sejak dulu, sekarang dan di waktu-waktu yang akan datang, bagian terbesar dan hukum bersifat samar-samar dan bervariasi. Menurut dia, keadaan yang demikian itu tidak bisa lain, oleh karena hukum itu berurusan dcngan hubungan-hubung an antara manusia dalam segi-seginya yang sangat kompleks. Olch karena itu mengharapkan, bahwa hukum akan bisa memberikan kepastian yang berlebihan, adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak perlu.
      Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan, mengapa orang sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang berlebihan itu. Menurut Frank, hal itu tentunya tidak berakar pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak nyata (unreal) (Soetjipto, 2006 : 361).
      Dalam usahanya untuk menjawab dan menjelaskan apa yang menjadi sebab-sebab keinginan sebagaimana disebut di atas, Frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget, khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut menjadi dewasa, berupa kegandrungann (hanker) kepada pengganti sang ayah (Soetjipto, 2006: 361). Penjelasannya secara terperinci adalah sebagai berikut (Soetjipto, 2006: 361) :
      1.      Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah, ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesenipatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak.
      2.      Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita rasa kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh dan penuh kepastian dan bisa dikontrol.
      3.      Si anak mendapatkan kepuasan akan kerinduannya ilu, pada umumnya, melalui kepercayaannya dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan yang selalu berhasil.
      4.      Sekalipun orang menjadi semakin dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan-kcinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “Kebergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri.
      5.      Hukum bisa dengan mudah dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab, secara fungsional, tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai Hakim.
      6.      Ayah sebagai Hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban .dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi di belakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness), kapasilas dan prediktabilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya, bahwa sang ayah telah meletakkan itu semga di dalam hukum.
      7.      Dari sinilah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah, atau bisa-dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan. ­

      B.     Ruang lingkup psikologi hukum
      Adapun ruang lingkup psikologi hukum menurut Soedjono D. yaitu sebagai berikut.
      1.      Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaedah hukum.
      2.      Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
      3.      Perilaku menyimpang.
      4.      Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
      Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana tertera di atas, merupakan tanda dari suatu perkembangan di dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan hukum sekaligus juga menunjukkan perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktivitas psikis manusia.

      C.    Perkembangan kejiwaan
      Perkembangan kejiwaan dalam kehidupan manusia menurut Saut P. Panjaitan paling sedikit dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti berikut.
      1.    Proses pematangan, yang meliputi penyempurnaan fungsi tubuh.
      2.   Proses belajar, yang berhubungan dengan proses memperbaiki sikap-tindak/ perikelakuan, baik melalui imitasi maupun edukasi.
      3.    Proses pengalaman, yang berkaitan dengan interaksi terhadap lingkungan kemasyarakatan di manapun seseorang berada.
      Ketiga faktor di atas dapatlah dipahami sementara bahwa setiap manusia akan mempunyai kepribadian (perkembangan kejiwaan) yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, psikologi penting bagi ilmu hukum untuk mengetahui latar belakang kejiwaan dari suatu sikap tindak/perikelakuan hukum tertentu. Jiwa merupakan suatu organ yang membentuk gagasan dan pelaksanaannya mempengaruhi nalar, maka hukum seharusnya menarik bagi jiwa manusia yang dipengaruhi oleh hukum.
      Berdasarkan hal tersebut, dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap­tindak/perikelakuan hukum dari seseorang yang terdiri atas: (1) sikap tindak/ perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seseorang akan mematuhi hukum, (2) sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seseorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
      Sikap tindak/perikelakuan seseorang yang mematuhi hukum dilandasi oleh adanya keyakinan atau kesadaran akan kedamaian pergaulan hidup. Keyakinan atau kesadaran hukum ini menjadi landasan keajegan (regelmatigheden) maupun keputusan-keputusan (beslissingen), merupakan wadah dari jalinan nilai hukum yang mengendap dalam sanubari manusia. Inilah kesadaran hukum (rechtsbewustzijn) atau perasaan hukum.
      Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau yang diharapkan akan ada. Jalinan nilai-nilai dalam diri manusia tersebut merupakan abstraksi sosial yang kontinu, dan bersifat dinamis, dalam rangka memilih tujuan dalam kehidupan sosial, yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya.
      Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal menyebabkan seseorang melanggar norma/kaedah hukum. Ada beberapa gejala psikologis yang berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang melanggar hukum, antara lain sebagai berikut.
      1.    Neurosis, yaitu suatu gangguan jasmaniah yang disebabkan oleh faktor kejiwaan atau gangguan pada fungsi jaringan saraf. Contoh: phobia, rasa takut terhadap hal-hal yang dianggap mengancam, misalnya rasa takut pada tempat yang tinggi. Depresi, adanya rasa negatif terhadap diri sendiri (putus asa).
      2. Psikhosis, merupakan suatu gejala seperti reaksi schizophrenic, yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya adalah seseorang sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya. Reaksi paranoid, di mana seseorang selalu dibayangi oleh hal-hal yang (seolah-olah) mengancam dirinya. Oleh karena itu, dia akan “menyerang” terlebih dahulu. Reaksi efektif dan involutional, di mana seseorang merasakan adanya depresi yang sangat kuat.
      3.   Gejala sosiopatik, yang mencakup:
      a.    reaksi antisosial (psikhopat), yang ciri utamanya adalah orang tersebut hampir-hampir tidak mempunyai etika/moral. Misalnya tidak pernah merasa bersalah, tidak pernah bertanggung jawab, tidak mempunyai tujuan hidup dan sebagainya.
      b.    reaksi dissosial, yakni orang selalu berurusan dengan.hukum, karena ada kekurangan dalam latar belakang kehidupannya.
      c.    deviasi seksual, yaitu perikelakuan seksual yang menyimpang dilakukan oleh orang-orang yang menikmati perbuatan tersebut, yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Seperti homosek­sualitas, pelacuran, perkosaan, dan sebagainya.
      d.    addiction (ketergantungan), misalnya ketergantungan pada “naza” (narkotika, alkohol, dan zat adiktif lainnya).(Ishaq,2009,241)

      D.    Proses perubahan dalam hukum
      Setiap proses perubahan, selalu menyangkut bermacam-macam aspek, seperti misalnya, aspek politis, ekonomis, sosial, dan lain sebagainya. Yang mungkin agak kurang diperhatikan, adalah masalah psikologis yang dihadapi di dalam pem­bangunan, walaupun tidak jarang orang menyinggung soal mentalitas di dalam pembangunan. Masalah psikologis tersebut menyangkut soal bagaimana manusia mengubah dirinya di dalam proses pembangunan tersebut. Hal itu mungkin menyangkut orang-orang macam apa yang mempelopori perubahan, manusia bagaimanakah yang mudah berubah dan pihak manakah yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubah­an yang terjadi. Di dalam proses pembangunan hukum, hal-hal itu juga perlu dipertimbangkan, oleh karena hukum adat secara tradisional telah menjiwai bagian terbesar dari warga-warga masyarakat Indonesia.
      Salah seorang pelopor yang mempelajari aspek psikologis di dalam proses perubahan, adalah L.W. Doob, seorang guru besar dari Yale Univer­sity, Amerika Serikat. Menurut Doob, maka masalah utamanya menyang­kut dua hal, yakni:
      1.      Mengapa warga masyarakat yang mengalami perubahan dalam hal-­hal tertentu bertambah modern (dalam pengertiannya, tambah ber­adab)
      2.      Apakah yang terjadi dengan mereka yang tambah modern; artinya apakah yang berubah dalam cara berpikir, kepercayaan, kepribadian, dan selanjutnya?
      Di dalam studinya, juga dipergunakan dikotomi tradisional dan modern, dan ada suatu usaha untuk mengadakan klasifikasi ciri-ciri masyarakat yang lebih sederhana. Ciri-ciri tersebut adalah, antara lain, sempitnya ruang lingkup hubungan-hubungan sosial, adanya pelbagai pembatasan-pembatasan, kepercayaan dan kemutlakan, keseragaman perilaku, dan kesederhanaan. Penelitian Doob terutama dilakukan di Luo, Ganda, Zulu dan Jamaica, dengan jalan memperbandingkan kecende­rungan-kecenderungan yang ada pada generasi tua dan muda, serta antara mereka yang berpendidikan dengan yang taraf pendidikannya kurang tinggi. Kemudian dia juga membandingkan pola-pola kehidupan orang-orang Indian dan kulit putih di Amerika Serikat, serta mem­pergunakan konsep-konsep yang pernah dikembangkan oleh Daniel Lerner mengenai tahap tradisional, transisi, dan modern. Dari hasil-hasil penelitiannya, antara lain, dapat diambil kesimpulan, bahwa perubahan lebih banyak dialami oleh orang-orang yang mempunyai orientasi jauh kemuka. Kecuali itu, maka ada suatu kecenderungan, bahwa perubahan sangat sukar terjadi pada pola kehidupan keluarga.
      Kemudian Doob pernah mengemukakan suatu teori, yang dinama­kannya the piecemealness of change. Intinya adalah bahwa apabila suatu pola perilaku yang tertanam dengan kuatnya dan sangat memuaskan ingin diubah, maka perubahan tersebut baru akan terjadi apabila beberapa unsur tertentu diganti. Oleh karena itu, teorinya disebut piece­meal. Halnya adalah sama, apabila suatu perilaku baru harus dipelajari, maka hal itu akan berlangsung bagian demi bagian, atau unsur demi unsur. Untuk kemudian dipelajari secara menyeluruh.
      Teori maupun hasil-hasil penelitian Doob yang kemudian diberi komentar oleh Godthorpe, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam pembangunan hukum, terutama di dalam hubungannya dengan hukum adat. Ada aspek-aspek tertentu, di mana pembangunan hukum mau tidak mau harus dilakukan melalui hukum adat; aspek-aspek manakah itu, perlu diteliti secara seksama. Memang, suatu pembangunan hukum memakan waktu yang relatif lama, oleh karena sekaligus juga memerlukan pelembagaan dan pembudayaan secara sistematis. (Soerjono, 2007: 366)

      BAB III
      KESIMPULAN

      Psikologi Hukum ialah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hokum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour), maka dalam kaitannya dengan studi hu­kum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pen­cerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk rnen­capai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang yang meng­garap tingkah-laku manusia. Bukankah proses demikian ini menunjukkan bahwa hukum telah mernasuki bidang psiko­logi. Terutama psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seper-ti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain sebagainya yang me­nunjukkan hubungan antara hukum dan psikologi. Contoh studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazic (1867 -1931), ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki beranggapan bahwa fe­nomen-fenomen hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dican­tumkan dalam peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus berbuat seperti itu. Petrazicky memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial. Oleh karena ia menciptakan "pengalaman imperatif­atributif' yang mempengaruhi tingkah-laku mereka yang me­rasa terikat olehnya. Beberapa sarjana hukurn secara khusus dan mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga me­ngembangkan ilmu ini.

      Daftar Pustaka
      Sudarsono, 1995, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka cipta
      Soekanto Soerjono, 2007, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada
      Ishaq, 2009, Dasar_Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika
      Rahardjo Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti
      Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

      Jumat, 03 Februari 2012

      Tugas Hukum Perburuhan

      BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada Tahun 1998 Indonesia mengalami masa yang sangat sulit karena pada saat itu terjadi krisis moneter yang berimbas pada dunia industri. Hal ini membuat beberapa badan usaha milik swasta maupun pemerintah melakukan Pemutusan Hubungan kerja atau yang sering disebut dengan PHK. Langkah ini terpaksa dilakukan karena salah satu alasannya adalah perusahaan mengalami kerugian yang tidak sedikit, sementara perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah kepada pegawainya. Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup keluarganya. 1.2. RUMUSAN MASALAH  Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :  Apa Definisi dari PHK?  Jelaskan Jenis-jenis PHK?  Jelaskan Mekanisme dan Penyelesaian PHK?  Bagaimana bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK? 1.3. TUJUAN  Mengetahui dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).  Mengetahui Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).  Mengetahui Mekanisme pemberian PHK kepada karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang akan timbul setelah Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan.  Mengetahui Bentuk dari pemberian Kompensasi kepada karyawan yang akan mendapatkan PHK dari perusahaan. BAB II PEMBAHASAN 2.1. PENGERTIAN PHK PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. pabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat. Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka. Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara. 2.2. JENIS-JENIS PHK  PHK Pada Kondisi Normal (Sukarela) Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut. Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Ketika seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa kehidupan yang tanpa peran. Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya. Ketika seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama ini. Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat : (a) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (b) tidak ada ikatan dinas, (c) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri. Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk mengundurkan diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak perusahaan. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga. Di sisi lain perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila perusahaan harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati. Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Karyawan mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.  PHK Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela) Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi. Kondisi yang demikian akan mempersulit suatu perusahaan mempertahankan kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja. Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu : a. Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya. b. Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik. c. Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja. d. Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya. Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu : a. Layoff, keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya. b. Outplacement, ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi. c. Discharge. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan. Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak. Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja. 2.3. MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK  Mekanisme PHK Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah : a. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya. b. Karyawan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. c. Karyawan mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan. d. Karyawan meninggal dunia. e. Karyawan ditahan. f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan permohonan PHK. Selama belum ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.  Perselisihan PHK Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK. PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang. 1. Perundingan Bipartit Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit. 2. Perundingan Tripartit Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak: a. Mediasi Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran. b. Konsiliasi Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran. c. Arbitrase Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer. 3. Pengadilan Hubungan Industrial Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar. Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. 4. Kasasi (Mahkamah Agung) Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus. 2.4. KOMPENSASI PHK Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya. Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut : Masa Kerja Uang Pesangon • Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah. • Masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah. • Masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah. • Masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah. • Masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah. • Masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah. • Masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah. • Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah. • Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut : Masa Kerja UPMK • Masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah. • Masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah. • Masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah. • Masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah. • Masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah. • Masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah. • Masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah. • Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi : • Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. • Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja. • Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. • Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. BAB III PENUTUP 3.1. KESIMPULAN PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan). 3.2. SARAN Adapun saran yang dapat kami berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. DAFTAR PUSTAKA • Flippo, E.B., 1984. Personnel Management. 5th edition. Sydney: McGraw-Hill International Book Company. • Manulang, S. H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. • Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid, H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri, Balai Pustaka, Jakarta.

      Etika Lingkungan Dalam Islam


      KATA PENGANTAR

      Segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru sekalian alam, yang maha besar, yang maha pengasih lagi maha penyayang terhadap semua mahluknya.
      Salawat dan salam atas junjungan kita nabi besar Muhammad SAW sebagai seorang nabi yang mana diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai seoran manusia sempurna yang juga telah membawa umat manusia dari alam kegelapan, dari alam kebodohan menjadi alam yang terang benderang dan dalam naungan agama islam.
      Makalah yang berjudul “Etika Lingkungan Dalam Islam ” adalah sebuah makalah yang yang mana dalam makalah ini membahas tentang pidana Lingkungan Di Indonesia.
      Selanjutnya sebuah ungkapan terima kasih yang sedemikian besar kepada Bapak Dosen yang telah memberikan tugas makalah ini sebab pengetahuan tentang Hukum Lingkungan yang saya ketahui semakin bertambah dan itulah yang sesungguhnya saya inginkan.
      Demikian dan sebelum saya akhiri, tentunya banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini dan kekurangan itu butuh saya rasa butuh kritik dan saran yang konstruktif demi pemyempurnaan makalah ini.
      Terima kasih
      Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

                                          Makassar, 1 Februari 2012


                                                        Penulis






      BAB I
      PENDAHULUAN
      Latar Belakang
                  Lingkungan mulai mengalami kerusakan yang hebat terjadi jauh sesudah nabi Adam tidak ada lagi di permukaan bumi. Manusia yang bertambah banyak jumlah dan keahliannya menjadikan bumi ajang untuk berbuat kerusakan. Kerusakan itu tentu tidak saja di darat tetapi di laut. Tidak saja di dataran rendah, kerusakan terjadi di bukit dan gunung. Kerusakan bahkan terjadi hingga ke dasar laut. Pendek kata kerusakan terjadi di utara, selatan, timur, barat dan bahkan di kutub-kutub bumi. Kerusakan yang paling besar sebetulnya adalah akhlak atau etika manusia. Manusia mulai menyembah selain Allah. Lebih dari itu manusia menjadi rakus.

                  Banyak nabi dan rasul diutus untuk memperbaiki  akhlak manusia. Tidak kurang dari 200.000 nabi dan rasul diturunkan dan diutus ke seluruh bangsa dan kaum di seluruh dunia. Banyak ajaran nabi dan rasul itu selain masalah akidah (tauhid) tetapi tidak kalah pentingnya adalah masalah akhlak/etika termasuk terhadap lingkungan. Di antara ajaran nabi Muhammad tentang etika lingkungan adalah bahwa semua makhluk hidup dan tidak hidup setiap saat tasbih kepada Allah. Jadi menganggu atau merusaknya sesungguhnya menganggu hubungan ”mereka” kepada Allah. Al-qur’an melarang keras berbuat kerusakan di bumi. Nabi melarang kencing di lubang semut dan air tergenang. Tulisan ini memaparkan serba-serbi yang berhubungan dengan etika lingkungan dan filsafat.




      Rumusan Masalah
      -        Apa itu Etika Lingkungan ?
      -        Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat ?
      -        Pandangan Islam terhadap Alam ?



      BAB II
      PEMBAHASAN
      Etika Lingkungan
                  Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?
       
                  Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir  kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.
       
                  Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua  yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.
       
                  Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
       
                  Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
      Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat
                  Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras. Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa  dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.
       
                  Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Dalam metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.

                  Eugene C Hargrove -  seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak mungkin.
       

      Tantangan Perspektif ekologis
                  Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu element metafisik yang  menjadi dasar segala sesuatu. 
       
      Perspektif Estetis
                  Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan emosinya pertama-tama adalah “ keteraturan “ dan bukan “ keindahannya “. Hal yang berkebalikan ditemukan dalam diri para seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan inderawi begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada “ nomos “ tetapi pada dimensi estetis dari alam itu sendiri. Memang dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi indahnya alam raya ini, tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan pandangannya bahwa obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai keindahan. Keindahan itu ada karena obyek natural tersebut berpartisipasi dengan idea keindahan. Partisipasi inilah – menurut Plato – yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi, keindahan secara intrinsik itu sebenarnya tidak ada.

      Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem
      Konsep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam pemikiran filsafat Yunani, karena pandangan ini bertentangan dengan metafisika yang menjadi pegangan mereka yaitu dunia yang konstan, abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan antara  metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf sebelumnya jelas-jelas berpegang pada pandangan bahwa alam memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang “ kekonstanan “ alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat  keadaan alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di tempat yang lain keadaan alam sedang membaik. Konsep siklis ini memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran baru akan alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam pada dasarnya bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu campur tangan manusia dalam keseluruhan proses ini.
       
      Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat Yunani melawan pemikiran etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri para filsuf yang bisa digunakan untuk mengembangkan etika lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat sebagai pohon dan bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya. Dalam Meteorology,  Aristoteles juga sudah memperhatikan gejala perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus sungai Nil di Mesir.
       
      Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid Aristoteles - sudah mengajukan pemikiran revolusioner tentang keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat konsep Atistoteles - gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos tersendiri. Pandangan Theophratus ini menjadi dasar bagi etika lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas segala ciptaan, ia hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.

      Tantangan Filsafat Modern
       
                  Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah ‘ apakah alam itu ada ( metafisik ) ‘ tetapi bagaimana kita mengetahui alam ( epsitemologis ). Dalam hal ini, pemikiran Rene Descartes perlu dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai sifat korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan sebagai created substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen sehinga dapat rusak dan tidak dapat berinteraksi satu sama lain. Ini menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari saat ke saat untuk  memecahkan masalah dunia.
       
                  Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi environmentalist karena paham alam yang dapat rusak menuntut suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi konsepnya tentang Tuhan yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia, membuat pelestarian alam seakan-akan berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu , bagi environmentalist sisi teologis teori Descartes ini cenderung ditinggalkan.
       
                  Di Inggris muncul kaum empiris – terutama Hume – yang menyatakan bahwa sensasi dan indera sebagai kriteria bagi adanya sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan dengan Kant yang membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove, idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya menunjukkan kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru G.E. Moore yang berani melawan Kant dan Hegel dan merehabilitasi pentingnya dunia eksternal.
       
                  Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas mempunyai dampak besar. Pada awal modernitas,  science justru lebih bersifat antiobservational, menekankan prinsip-prinsip geometris dan bersifat reduksionis. [1][5] Hume yang membagi obyek penelitian dalam “ primary  dan secondory property ”  mempunyai pengaruh besar pada terpisahnya nilai ( value ) dari  fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan dikategorikan pada secondary  dan bukan menjadi urusan ilmu alam yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan ini tampak tegas dalam  kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan. Ketika alam hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari kegunaan-kegunaan yang ada di dalamnya  tanpa memperhitungkan nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu sendiri - yang terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.
      Pandangan Islam Terhadap Alam
                  Al-qur’an diturunkan oleh pencipta alam semesta dengan secara bertahap. Jumlah ayat kitab suci yang diturunkan kepada manusia ini (hudalinnas) ini lebih dari 6000 ayat. Ini memberi indikator bahwa persoalan kehidupan manusia itu – baik di dunia ini, di alam kubur maupun di akhirat nanti tentu jumlahnya sangat banyak dan kompleks. Ayat pertama dimulai dengan bacalah. Bacalah bermakna bahwa persoalan kehidupan dan lingkungan itu adalah persoalan keilmuan. Tetapi ayat itu dilanjutkan dengan: “Bacalah dengan nama tuhan yang Maha Menciptakan”. Pesan di sini adalah bahwa membaca juga harus dengan kaca mata iman. Bahwa semua di dunia ini ada yang menciptakan. Aayat itu dilanjutkan dengan: “Yang menciptakan manusia dari yang berkait/menggantung”. Ini bermakna luas. Manusia itu diciptakan dari sesuatu yang sifatnya menggantung atau berkait. Tentu salah satunya berarti bahwa manusia itu bahan dasarnya adalah sesuatu yang berkait. Artinya manusia akan hidup dengan baik bila dia berada di lingkungan yang beranekaragam –misalnya hayati.

                  Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berkait juga bermakna bahwa manusia selama-lamanya dimaksudkan untuk menciptakan semua di sekitar dia selalu dalam keadaan berkait. Jadi dengan begitu akan ada semangat atau gerakan berkomunikasi, berpasukan dan berfikir kritis. Islam mengatur supaya manusia beriman, beramal shaleh, saling memberi nasehat – baik tentang kebenaran maupun tentang kesabaran. Dengan begitu maka manusia akan mewarisi surga firdaus – dunia yang apik, rapi dan indah serta sejahtera – untuk selanjutnya akhirat yang abadi-abadi. Semua ajaran islam mengatur etika dengan tuhannya, dengan lingkungannya tidak saja manusia tetapi alam secara menyeluruh. Sebagai contoh atau teladan telah secara lengkap ada pada hadis-hadis soheh misalnya Buchari dan Muslim.









      BAB III
      PENUTUP
      Kesimpulan
      Perubahan dan perkembangan etika lingkungan, merupakan proses intelektual dan emosional. Koservasi lingkungan yang berdasar maksud baik saja terbukti lemah bahkan berbahaya, karena mengabaikan pemahaman kritis baik terhadap alam maupun sisi ekonomis dari penggunaan alam. Muatan intelektual akan meningkat sejalan dengan meluasnya penghayatan etika pribadi ke komunitas. Mekanisme kerjanya sama untuk etika apapun juga: peneguhan sosial untuk tindakan-tindakan yang benar dan penolakan atas tindakan-tindakan yang salah.


















      DAFTAR PUSTAKA
      -         Alqur’anul karim. Departemen Agama RI. Jakarta.
      -         Sahih Buchari dan Muslim.
      -         Borrong, Robert, Etika Bumi Baru, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1999
      -         Hargrove, Eugene C,  Foundation of Environmental Ethics,  Prentice Hall, New Jersey, 1989
      -         Mangunwijaya, YB, Lingkungan dalam pandangan Timur,  makalah Seminar Lingkungan dan Berbagai Masalahnya, Cibubur, November 1982
      -         Sony Keraf,  Lingkugan Hidup, Melihat Dimensi Etisnya, Kompas, 6 Desember 1982
      -         Tim Wartawan Kompas, Hutan Konservasi Dihabisi, Kompas, 5 Agustus 2001




      Total Pageviews

      Blogger news

      Diberdayakan oleh Blogger.

      Popular Posts

      Followers

      Followers

      Featured Posts

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news